Sekarang Indonesia lagi krisis listrik. Pangkal masalahnya sebenarnya bukan krisis listrik, tapi melonjaknya batubara. Ah, kalau kita runut masalahnya lagi, akar masalahnya mungkin masih panjang. Udahlah, kita nggak usah bahas itu. Kita kan sedang berada di Pernik Ilmu, bukan Kompas.com, Hihihi
Omong-omong soal listrik deh sekarang. Orang sering mengasosiasikan mati listrik dengan mati lampu. Padahal kalau mati listrik, bukan cuma lampu yang mati, tapi ya semua benda/alat yang bekerja menggunakanlistrik. Omong-omong soal lampu lagi, pernah nggak kepikiran, kenapa bola lampu dirancang sedemikian rupa sehingga suatu saat lampu akan “putus” dan nggak bisa digunakan lagi? Ya kalau bola lampu bisa digunakan selama-lamanya, siapa dong yang mau berbisnis produksi bohlam? Lagi-lagi, kita kan sedang berada di Pernik Ilmu, bukan Business Review
Sekian ah, intronya.
Bola lampu sebenarnya memang direkayasa dengan cermat sekali agar mampu beroperasi hingga jangka waktu tertentu. Yang paling menentukan waktu pakai (usage time) lampu adalah temperatur filamen saat pengoperasian. Untuk wattage atau kebutuhan daya tertentu (konsumsi daya listrik yang diperlukan), makin tinggi temperatur dan keluaran cahaya, makin pendek masa pakainya.
Bola lampu “long life” mempunyai filamen yang dirancang untuk berpijar pada temperatur lebih rendah. Tetapi, jika temperaturnya rendah, cahaya terang yang diperlukan mungkin tidak akan dihasilkan. Sementara temperatur tinggi menghasilkan cahaya lebih biru, lebih putih. Nah, kalau bola lampu “long life “ biasanya akan menghasilkan cahaya agak kekuningan.
Bola lampu “long life” menyerap energi yang lebih kecil karena filamennya dirancang untuk dilewati oleh arus listrik lebih kecil. Lampunya tidak begitu panas, cahaya pun redup. Tapi kita pasti jadi rugi. Kenapa? Karena selain cahayanya kuning, kita harus membeli wattage lebih tinggi agar mendapatkan intensitas cahaya yang diharapkan dari bola lampu normal.
Undang-undang udah mengatur kalau kemasan bola lampu standar harus memberitahukan jumlah jam masa pakai lampu di dalamnya, juga besar cahaya yang mampu dipancarkan ke semua arah = besar lumen. Bandingkan jumlah jam dan angka lumen pada kemasan “long life” dengan angka serupa pada kemasan bola lampu biasa untuk wattage yang sama. Apabila kita bersedia mendapatkan cahaya lebih redup dan harga lebih tinggi namun tidak usah sering mengganti bola lampu, belilah tipe “long life”.
Sebaliknya, jika kita mencari bola lampu dengan harga paling murah, bawa kalkulator saja pas beli Untuk keperluan daya tertentu, kita menghendaki cahaya seterang mungkin, selama mungkin, dengan harga semurah mungkin. Bagilah harga lampu yang akan dibeli dengan angka lumen, kemudian bagi hasilnya dengan jumlah jam masa pakai yang diharapkan. Hasil paling kecil adalah hasil paling baik. Mengertikah? Baca lagi deh